Rabu, 11 November 2020

ARTIKEL ILMIAH

 

ABSTRAKSI

Nama:Sarah Meltina Laisila;NIP 19850131 2009 04 2 001;  Judul: Persepsi peserta didik tentang Pluarlisme (Studi PAK di SMK N 1 Maluku Tenggara);

Masyarakat Maluku Tenggara memiliki kehidupan yang plural, dimana terdapat keanekaragaman adat istiadat, suku, budaya, bahasa, status ekonomi, politik dan agama. Ada tiga agama besar yang hidup dan berkembang dimasyarakat Maluku tenggara yaitu Islam, Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Dengan adanya ketiga agama ini maka akan melahirkan pandangan  ekslusivisme, inklusivisme dan pluralisme. paham ekslusivisme dan inklusivisme telah diketahui bahkan dianut peserta didik namun Pluralisme belum di ketahui oleh peserta didik. Apakah peserta didik mampu menerima paham Pluralisme ini dalam kehidupan beragama mereka ataukah mereka menolak paham ini karena telah menganut paham ekslusivisme dan inklusivisme?. Peserta didik  dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat yang majemuk tidak dapat ia hindari baik itu disekolah maupun dalam kehidupan masyarakat. Kemajemukan ini dapat melahirkan konflik dan berbagai masalah social lainnya bila cara pandang peserta didik sempit dan terbatas. Kehidupan majemuk dapat dijadikan kekayaan yang dapat dijaga dan dipelihara bila pandangan beragama peserta didik terbuka terhadap pandangan pluralisme. Hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian tentang persepsi peserta didik terhadap pluralisme.

Untuk menganalisis data, maka pada kajian pustaka penulis menggunakan teori yang meliputi: pengertian persepsi, pluralisme dan pendidikan agama Kristen. Jedida T. Posumah Santosa mengatakan pendidikan agama Kristen bukan hanya mengarah pada penguasaan-penguasaan pengetahuan dan ketampilan tetapi kepada pribadi yang matang. Sasarannya akhirnya adalah seorang pribadi yang memiliki integritas diri, mampu menggunakan imannya dalam menjawab tantangan hidup yang mampu memanusiakan manusia, sesama dengan berbagai kehidupan yang sejahtera yang dikaruniakan Allah bagi mereka. Dengan kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk memampukan manusia mengambil bagian secara aktif, kreatif dan kritis dalam pembangunan masa depan bersama yang lebih baik dari masa lalu dan masa kini. Dan sikap pluralisme adalah salah satu kebutuhan pendidikan agama Kristen saat ini.

Dalam metodologi penelitian, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif. Sedangkan analisa data yang digunakan adalah analisa kualitatif yang meliputi reduksi data, penyajian data, penarikan, kesimpulan atau verivikasi.

Pada hasil penelitian ini maka hasil yang didapat antara lain: persepsi peserta didik  dan implikasi PAK.

Pada bagian penutup terdiri atas : Kesimpulan yang merupakan rangkuman dari seluruh isi atau pembahasan sedangkan saran memberikan masukan bagi pelaksanaan PAK disekolah terkhusus bagi peserta didik dan guru di SMK N 1 Maluku Tenggara.

Kata kunci : Persepsi, Pluralisme, Pendidikan Agama Kristen.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pendahuluan

Pluralitas  dalam kehidupan manusia merupakan fakta social yang buka saja tak dapat dihindari. Tetapi lebih dari pada itu telah menjadi persoalan dan pergumulan abadi dalam membangun hidup keberagaman dan bermasyarakat. [1]

Masalah dalam pluralitas akan terjadi apabila secara teologis pluralitas hanya mengacu pada eksoterisme agama yaitu, pandangan secara umum terhadap agama lain, yang mengakibatkan corak keberagaman kehilangan nilai emansipasi dan transformasi didalam masyarakat. [2]Untuk itu diperlukan suatu pengertian akan segi konsekuensial dari sikap keagamaan kita, yang menentukan pandangan kita terhadap agama-agama lain.[3]

Dalam penelitian ilmu-ilmu agama (Relegious studies), ada tiga sikap keberagamaan yang dominan yaitu:

Pertama, Ekslusifisme, Arthur D’Adam, mengatakan bahwa “ Cara Pandang Agama “ (Religions Way Of Knowing) yang ekslusif, justru menjadi akar seluruh konflik antar umat beragama yang timbul kemudian. Karakteristik Religions Way Of Knowing yang ekslusif, menurut Arthur D’ Adamo berangkat dari sebuah paradigma hanya agama dan kitab sucilah sumber kebenaran, dan sepenuhnya diyakini sebagai ; (1) bersifat konsistensi dan berisi kebenaran-kebenaran yang tanpa kesalah sama sekali ; (2) bersikap lengkap dan final dan karena itu memang tidak memerlukan kebenaran dari agama lain ; kebenaran agama sendiri dianggap sebagai satu-satunya jalan keselamatan, pencerahan dan pembebebasan ; dan (4) Seluruh kebenaran diyakin original dari Tuhan dan bukan konstruksi manusia.[4]

Kedua, Inklusivisme yaitu sikap yang mencoba untuk mencakup seluruh agama dibawah penebusan oleh Yesus Kristus sekaligus tetap menghormati legitimasi agama lain.[5]

Ketiga, Pluralisme, paradigma ini percaya bahwa setiap agama (agama-agama diluar agama Kristen), mempunyai keselamatan sendiri, dan karena itu klaim bahwa Kristianitas adalah satu-satunya jalan (sikap ekslusif) atau melengkapi jalan keselamatan yang lain (sikap inklusif), harus ditolak demi alasan fenomenologis. Yaitu setiap agama memiliki keyakinan memiliki jarak yang sama pada Tuhan sebagai pusat keberadaan dan kebenaran. Semua agama melayani dan melindungi-Nya. Di sini kesejajaran antar pemeluk agama sangat dijunjung tinggi.  Meski demikian, pluralisme tidak bertujuan mencapai “keseragaman bentuk agama” sebab gagasan itu tidak saja absurd tetapi juga a-historis. Jadi yang dibutuhkan adalah “saling menyapa” dan memberi kontribusi positif bagi penyelesaian problema bersama masyarakatdari perspektif keagamaan masing-masing.[6]

Kehidupan masyarakat di kabupaten Maluku Tenggara  hidup dan berkembang dalam kemajemukan suku, yang memiliki adat-istiadat, budaya dan bahasa, status ekonomi, social, poltik dan agama. Ada tiga agama besar yang hidup dalam masyarakat kabupaten Maluku Tenggara yaitu agama Islam, Kristen protestan dan Kristen Katolik.  Dengan adanya keberagaman yang berbeda ini maka memunculkan pandangan terhadap agama yang berbeda yaitu ekslusivisme, inklusivisme dan pluralisme.

Sikap keberagamaan ini juga dimiliki oleh peserta didik pada SMK N 1 Maluku Tenggara yaitu ekslusivisme dan inklusivisme. Siswa yang memiliki pemahaman ekslusivisme karena pergaulan peserta didik hanya dengan teman seiman. Kedua yaitu penanaman nilai-nilai Pendidikan agama Kristen (PAK) yang diajarkan disekolah minggu/Tunas Pekabaran injil bahkan disekolah yang menanamkan cara pandang yang ekslusifisme. Ketiga, letak geografis tempat tinggal peserta didik yang dominan 1 agama saja. Misalnya 1 desa didominasi oleh 1 agama misalnya agama katolik sebagian besar di desa (Ohoi) Debut. Kristen Protestan di Ohoi Dian Darat,  dan agama Islam di Ohoi Letman.

Peserta didik yang memiliki pemahaman inklusivisme, lebih banyak didapat lewat pergaulan yang lebih terbuka yaitu menjalin persahabatan/pertemanan dengan peserta didik yang berasal dari agama yang berbeda dimana di satu kelas ditempatkan peserta didik yang teridiri dari tiga agama yang berbeda. Hubungan kekeluargaan/kekerabatan dan adat istiadat yang karena pertalian darah terdiri atas berbagai agama misalnya dalam marga Hukubun, Ingratubun, Rahayaan ada yang beragama Islam, Kristen Protestan dan Katolik. Adat istiadat misalnya Hukum Larvul Ngabal dan falsafah Ain Ni Ain ( satu punya satu), yang mengikat tali persaudaraan tanpa melihat perbedaan agama.

Peserta didik belum sampai pada paham Pluralisme padahal paham ini mempunyai manfaat yang penting dalam kehidupan bersama dalam masyarakat Maluku Tenggara yang plural.  Dengan paham ini diharapkan membuka pemikiran peserta didik untuk menerima kenyataan bahwa keberagaman agama yang begitu banyak dapat diterima dengan paham pluralisme. Apalagi pada materi pembelajaran dikelas XII peserta didik akan mendapatkan materi pelajaran tentang multikultur. Agar materi ini dapat kompetensi dasar dan indicator pencapaian yang telah ditetapkan guru maka peserta didik terlebih dahulu memiliki persepsi yang baik terhadap kehidupan beragama. Dengan demikian peserta didik dapat menjadi pembawa damai sejahtera bagi kehidupan masyarakat. Dengan demikian maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Persepsi peserta didik tentang pluralisme” (Studi PAK di SMK N 1 Maluku Tenggara).

Mengingat banyaknya pluralisme bahasa, suku, adat-istiadat, ekonomi, social, budaya, agama maka penulis memilih pluralisme dalam agama dan penelitian dilakukan pada peserta didik di SMK N 1 Maluku Tenggara yang beragama Kristen Protestan.

Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji dan menganalisis persepsi peserta didik di SMK N 1 Maluku Tenggara mengenai pluralisme dengan demikian maka diharapkan penelitian ini  dapat memberikan pemahaman bagi peserta didik di SMK N 1 Maluku Tenggara mengenai konsep cara pandang terhadap kemajemukan agama yaitu pandangan pluralisme dalam kehidupannya sehingga kemajemukan agama dapat dijadikan sebagai kekayaan yang dijaga dan dipelihara.

KAJIAN PUSTAKA

Pada bagian ini penulis akan mendeskripsikan tentang beberapa teori yang digunakan untuk menganalisa data yang kaji oleh penulis meliputi: pengertian persepsi, pluralisme dan Pendidikan Agama Kristen (PAK)

Pengertian Pluralisme

Menurut Miftah Thoha, kunci memahami persepsi, itu tergantung pada pengenalan yang merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi. Persepsi membawa kesan tersendiri dalam proses kondisi yang dapat mengambil gambaran umum tentang kenyataan-kenyataan yang berada dalam pengertian suatu objek rangsangan akan menghasilkan persepsi. Dengan demikian persepsi berarti berhubungan dengan panca indra, khususnya hasil pengamatan.[7]

Persepsi menurut Rakhmat Jalaludin adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan penafsiran pesan. Sedangkan menurut Ruch, persepsi adalah suatu proses tentang petunjuk-petunjuk indarawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan dan terorganisir untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu. Sejalan dengan itu, Atkison dan Hilgard mengemukakan bahwa persepsi adalah suatu proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasi pola stimulus dalam lingkungan. Gibson dan Donely menjelaskan bahwa persepsi merupakan suatu pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu.[8]

Oleh karena itu, persepsi bertautan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakan indera. Dalam hal ini persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indra, sebagai cara pandang, persepsi timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat kompleks, stimulus masuk ke otak, kemudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit, kemudian menghasilkan persepsi.[9]

Dalam hal ini, persepsi mencakup penerimaaan stimulus (input), pengorganisir stimulus  dan penerjemah atau penafsiran stimulus yang telah diorganisir dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan bentuk sikap, sehingga orang dapat  cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan keadaan sendiri.[10]

Proses pembentukan persepsi dijelaskan oleh Feigi sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan adanya stimulus. Pada saat selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi dengan “interpretasion”, begitu juga berinteraksi dengan “closure”.

1.      Proses seleksi terjadi pada saat seeorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan tentang pesan mana yang dianggap penting dan tidak penting. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan rangsangan yang diterima akan tergantung pada apa yang  pernah ia pelajari, apa yang suatu saat menarik perhatiannya dan kearah mana persepsi itu mempunyai kecendrungan. Ini berarti juga bahwa ada keterbatasan dalam kemampuan seseorang untuk menerima rangsangan.

2.      Persepsi itu mempunyai tatanan

3.      Orang menerima rangsangan tidak dengan cara sembarangan. Ia akan menerimanya dalam bentuk hubungan-hubungan atau kelompok-kelompok. Jika rangsangan yang datang tidak lengkap, ia akan melengkapinya sendiri sehingga hubungan menjadi jelas.

4.      Persepsi dipengaruhi oleh harapan atau kesiapan (penerima rangsangan) harapan dan kesiapan penerima pesan akan menentukan pesan mana yang akan dipilih untuk diterima, selanjutnya bagaimana pesan itu dipilih akan ditata dan demikian pula pesan itu akan dinterpretasikan.

5.      Persepsi seseorang atau kelompok dapat jauh berbeda dengan persepsi orang atau kelompok lain sekalipun situasinya sama.[11]

Jadi persepsi tentang pluralisme dalam agama yaitu proses masuknya stimulus (informasi tentang pluralisme) ke otak peserta didik lewat indranya akan terjadi proses yang rumit dan kemudian menghasilkan persepsi. Persepsi dipengaruhi oleh factor dari dalam maupun dari luar. Factor dari dalam ini berkaitan dengan pemusatan indra peserta didik dan pengalaman masa lalu. Factor dari luar yaitu sumber informasi dari guru sebagai pemberi respons.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pengertian Pluralisme

Pluralisme berasal dari kata “pluralism” (Inggris) dalam masyarakat.  Yang terdiri dari dua kata plural (= beragam) dan isme (=paham) yang berarti paham atas keberagaman. Defenisi dari pluralisme sering kali disalahartikan menjadi keberagaman paham yang akhirnya memicu ambiguitas. Pluralisme juga dapat berarti kesediaan untuk menerima keberagaman (pluralitas), artinya hidup secara toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda suku, golongan, agama, adat hingga pandangan hidup. Pluralisme mengimplikasikan pada tindakan yang bermuara pada pengakuan kebebasan beragama, kebebasan berpikir, atau kebebsan mencari informasi, sehingga untuk mencapai pluralisme diperlukan adanya kematangan dari pribadi seseorang dan/atau sekelompok orang. [12]

Lebih luas lagi  pluralisme adalah sebuah ism atau aliran tentang pluralitas (a pluralism ia an “ism” about a “plurality”). Demikianlah defenisi yang disampaikan Richard J. Mouw dan Sander Griffon. Istilah pluralism disini harus dibedakan dengan pluralitas. Meskipun keduanya sering dipakai secara bergantian tanpa penjelasan tentang apakah kedua kata ini mempunyai kata yang sama atau berbeda. Ada kaitannya dengan pluralisme dengan pluralitas mempunyai kata yang sama yaitu  bersifat plural, jamak dan banyak. Pluralisme dimaksudkan bukan untuk keadaan jamak atau banyak. Pluralisme adalah suatu sikap yang mengakui dan sekaligus menghargai, menghormati, mememlihara, dan bahkan mengembangkan keadaan yang bersifat plural, jamak dan banyak itu.

Menurut Th.Sumartana, pluralisme bukan sekedar multiplikasi kepelbagaian, bukan hanya eksistensif melainkan kualitatif. Pluralisme masa sekarang, jenis, bentuk dan isinya berbeda dengan pluralisme yang kita alami di masa lampau. Pluralisme masa lampau menuntun suatu respons kerukunan, ko-eksistensi, dan keserasian hidup dari kelompok-kelompok agama dimasyarakat. Corak kepelbagaian itu bersifat pasif, kalau mendatanginya baru mengalaminya, akan tetapi pluralism sekarang ini bersifat sangat aktif, kalau kita tidak memperdulikannya, maka kita akan digilas. Pluralisme dimasa sekarang terjadi karena tiap-tiap kelompok itu sudah mengalami proses emansipasi bersama , dan tampil bersama secara setara. Tidak ada orang bisa bilang bahwa suatu pihak tidak punya hak untuk tampil. Dengan demikian, dikatakan bahwa pluralism jenis sekarang ini tampil bersama dengan keadaan emansipatoris dan setiap kelompok yang ada dalam masyarakat. Kenyataan semacam ini melahirkan  urgensi baru untuk memahami serta menanggapinya secara baru. Secara kuantitatif, pluralism dimasa sekarang  jumlahnya lebih banyak dan lebih kompleks dibanding yang ada pada masa lampau. Ini yang disebut multiplikasi kepelbagaian. Muncul  kombinasi-kombinasi serta berbagai bentuk campuran dari berbagai agama yang muncul menambah  jumlah kelompok-kelompok agama tersebut, baik secara intern maupun eksteren. Pada satu pihak, kita melihat jumlah dedominasi gereja bertambah, tetapi jumlah agama bertambah pula. Ada gejala yang kita sebut “new age”, ada begitu banyak “sekte-sekte” sempalan yang merupakan campuran dari berbagai macam agama, dan juga kombinasi agama dengan berbagai bentuk ideologi.[13]

Pluralitas (kemajemukan) dan pluralisme (paham kemajemukan) menurut Aholiab Watloly meskipun memiliki kesamaan objek material karena menunjuk pada fakta perbedaan dan kemajemukan hidup, namun secara filosofis, memiliki perbedaan objek formal (cara pemikiran). Maksudnya bila pluralitas meletakan pemikiran atau cara pandang pada aspek perbedaan dan fakta kemajemukan, maka pluralisme atau paham tentang kemajemukan berusaha untuk mengelola, menata atau memenej dan mengembangkan kemajemukan tersebut dalam sebuag sinergitas (kerjasama) yang saling memperkaya dan saling menyumbang pada proses otonomi diri dan kemandirian hidup yang sejati. Dengan demikian kemajemukan tersebut tidak berjejer sebagai kekuatan-kekuatan yang egois serta mengancam, memangsa dan melenyapkan (ber-negasi) tetapi saling menyapa atau saling menghidupkan dalam otonomi diri dan kekuasaan. [14]

Mengenai pemikiran pluralisme seperti yang digambarkan dalam buku Mitos Keunikan Agama Kristen (The Myth of Chiristian Uniqurness), John Hick berkata :” dan kita harus menyadari bahwa semesta iman berpusat pada Allah dan bukan pada kekristenan atau pada agama lain manapun. Ia adalah matahari, sumber awal terang dari terang kehidupan, yang agama-agama refleksikan dalam cara-cara mereka sendiri secara berbeda. Hick sangat gemar menggunakan istilah “semesta iman” (The univers of faiths) dan dengan impresif, Hick mencoba menerangkan posisi teologinya dengan memakai analogi astronomi.[15]

Sebagaimana dalam astronomi Ptolemus bumi dilihat sebagai pusat sistem matahari dengan semua planet lainnya berputar mengelilingi  bumi, sehingga dalam teologi Ptolemeus Kristus dilihat sebagai pusat dari semua agama. Agama-agama lain dianggap berputar disekitar agama Kristen dan digolongkan sesuai dengan jauh dekatnya disekitar agama Kristen. Hick berpendapat bahwa pendekatan Ptolemeus tersebut memang dapat juga digunakan oleh agama lain. Seorang penganut agama Hindu misalnya dapat mengatakan bahwa orang Kristen yang saleh secara tersirat adalah orang-orang Hindu, bahwa agama-agama lain merupakan jalan biasa tetapi agama Hindu adalah jalan yang istimewa, bahwa Hindu bukanlah agama melainkan kebenaran abadi yang menilai dan menggantikan semua agama (Karl Bath) dan seterusnya. Pendirian ini dapat diambil dari seorang teologi dari setiap agama, namun kenyataannya  itu hanyalah sebuah pendirian sementara selagi kita mempersiapkan diri untuk teori Capernicus. Sebagaimana Capernicus berpendapat bahwa, matahari, dan bukan bumi yang mejadi pusat, demikianpun “kita harus menganggap bahwa seluruh agama berpusat kepada Allah, dan bukan pada agama Kristen atau pada salah satu agama ruang lain”. Dia adalah matahari, sumber asal dari cahaya kehidupan yang digambarkan oleh semua agama dengan cara masing-masing. Jika demikian halnya, maka dapat diharapkan bahwa Allah, sebagaimana tercermin dalam aneka ragam peradaban menjadi nyata dalam wahyu-wahyu atau agama-agama yang berbeda. Namun sekalipun ada perbedaan diantara bermacam-macam wahyu, kita dapat percaya bahwa dimana-nama Allah Esa sedang bekerja mencetak pada jiwa manusia ( pressing in upon the human spirit).[16]

Pluralitas yang dikembangkan oleh Nurholish Madjid, adalah menempatkan pluralitas sebagai keniscayaan-realitas. Bahwasannya pluralitas merupakan keadaan ontologism dari penciptaan kosmik beserta isinya. Pluralitas adalah grand design Tuhan. Oleh karena itu, “ada” bersama adanya kosmik, maka tidak ada sikap lain bagi manusia kecuali menerimanya sebagai suatu keniscayaan.[17]

Nurholish Madjid mengatakan pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”(genuine engagement of diverseties within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juaga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, dalam Kitab Suci justru disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan yang melimpah kepada uamat manusia. “seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur, namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam”(QS.Al Baqarah, 2:51).[18]

Martin L. Sinaga mengatakan bahwa pluralisme kenyataan kemajemukan agama-agama tersebut tidak hanya dilihat sebagai kenyataan sosiologis belaka. Ada pengalaman baru yang sungguh dirasakan setiap agama. Pengalaman tersebut seperti suatu keadaan yang menempatkan suatu agama tadi sebagai salah satu “penari” dalam relasi dengan agama lain dan membentuk “tarian” bersama. Kalau agama tersebut mau tetap survive dalam konteks baru ini, ia harus mampu memberi respons keterbukaannya terhadap keadaan pluralism tersebut, seperti seorang penari yang tidak boleh menari sendiri lagi, tetapi harus mau bergerak seturut dengan irama bersama dan mampu memberi jawaban terhadap gerak (bahan kreatifitas) teman menarinya, agar tidak tersandung jatuh atau pun menginjak kaki penari lain, lalu terpaksa dikeluarkan dari arena tarian karena mendesakan gaya tertentu dan terkesan sewenang-wenang justru sebaliknya yang perlu ditampilkannya, bagaimana dalam tarian bersama itu ia tidak asal menari atau hanya mengulang-ngulangi gerak yang sama, tetapi diminta menggerakan daya-daya pribadinya semaksimal mungkin agar ia tidak saja akan dihargai karena jenial, tetapi juga karena membantu menyamarkan tarian bersama tersebut. Metofor “penari” dan “tarian” ini dapat membantu kita memahami keadaan baru tempat agama-agama hidup pada masa kini. Setiap agama tidak lagi hidup selaku anak tunggal dan anak sulung, ia kini harus berbagi dengan agama lain; karenanya, kesaksiannya justru akan semakin dihargai dan didengar kalau ia mampu menampakan kapasitas dalam merumuskan diri secara baru dan otentik. Rumusan ini juga perlu menambah kualifikasi lain, tetapi justru mengajak yang lain lebih semarak dalam hidupnya karena ia pun aktif menyuburkan saudara seperjalanannya itu. Gaya baru beragama ini terasa mendesak untuk dijadikan pola bersama-sama karena agama yang mau hidup bersama secara sehat lagi bebas itu harus menolak cara-cara potologis yang tampak dalam sebagian kelompok agama saat ini, yang menutup diri alam ghetto fundamentalistik sambil mengklaim dirinya selaku pemilik kebenaran absolut dan mengkarikan atau mensesatkan yang lain.[19]

Stanley Samartha mengakui fakta pluralism agama berarti bahwa orang tidak dapat mencari perlindungan dalam sikap netral dan objektif. Tidak ada helicopter teologis yang dapat membantu kita untuk terbang melayang-layang diatas agama-agama lain dan memandang ke bawah dengan penuh keangkuhan oleh karena itu,pendrian kita harus menjadi Kristen, walaupun begitu tenaga-tenaga kita juga bebas untuk menyatakan pendirian mereka yang partikular.[20]

Wilfred Cantwell Smith mengakui, bahwa pengalaman dunia menyangkut agama sedang memasuki tahap baru yakni pluralisme agama. Syarat utama tahapan baru ini ialah kita semua  diminta untuk memahami tradisi-tradisi keagamaan lain di samping tradisi keagaman kita sendiri membangun teologi di dalam benteng sutu agama sudah tidak memadai lagi seperti pada masa lampau para teolog Kristen merasa perlu untuk membangun teologi dalam terag filsafat Yunani atau perkembangan ilmiah, demikan pun tantangan yang dialami teolog Kristen dewasa ini ialah,apabila mereka mengembangkan teologinya, menyadari kedudukannnya sebagai anggota masyarakat dunia bersama-sama dengan teolog lainnya sama cerdas, sama-sama saleh, sama-sama bermoral yang beragama Hindu, Budha atau Islam.[21]

Pengertian Pendidikan Agama Kristen

Menurut S. C. Utami Munandar pendidikan agama adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam menyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama. Pendidikan agama berfungsi untuk menumbuhkan sikap dan perilaku manusia berdasarkan iman keagamaan melalui kehidupan sehari-hari, dengan menghormati dan menghargai agama lain dalam hubungan kerukunan antara umat beragama di masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional dan berlandaskan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.[22]

Hal ini menunjukan bahwa pendidikan agama yang diajarkan bukan hanya menjadi kekayaan iman dan intelektual bagi pemeluk agama masing-masing namun juga dapat memberikan nilai positif kepada hubungan yang rukun dengan tetap menghargai agama lain dapat tercipta keamanan dan ketertiban nasional.

W.P Napitupulu menambahkan kata “Kristen” pada batasan tersebut, apakah ada masalah yang timbul? Sebenarnya tidak ada masalah pada tingkat abstrak dan tingkat gagasan-gagasan umum. Masalah mungkin baru timbul sewakt kita menjawab “Bagaimana kita para pengikut Kristus mengisinya”? Bagaimana agama Kristiani menerobos ke dalam setiap kegiatan? Tentu kita harus berpegang teguh pada Alkitab, pada ajaran-ajaran Kristus, pada prinsip-prinsip hidup Kristen yang kita yakini dan dijadikan pedoman untuk berbuat,pedoman tingkah laku kita. Mengenai hal ini pun tidak ada masalah jika kita hidup dan bergerak dalam masyarakat homogen, artinya secara praktis “mayoritas” penduduk beragama Kristen. Masalah barulah perlu didentifikasi dan secara rinci tersurat “jika Pendidikan Kristen” itu dilaksanakan didalam masyarakat heterogen, masyarakat majemuk seperti Indonesia. Kata kunci dalam masyarakat majemuk adalah “toleransi”. Mengenai pengertian Har Tilaar,mengatakan dengan dua buah pengertian lain,yakni “Pengabdian” dan “Pelayanan”. Har Tilaar selanjutnya berkata “toleransi” bukan dalam artian melepaskan keyakinan kita sebagai seorang Kristen tetapi sikap atau gerak-gerik kita, baik sebagai perorangan maupun anggota masyarakat agar tidak secara ekslusif dan demontratif menunjukan nilai-nilai kita.[23]

Selanjutnya calvin mendefenisikan Pendidikan Agama Kristen pemupukan akal orang-orang percaya dan anak-anak mereka dengan firman Allah yang dilaksanakan gereja,sehingga dalam pengalaman belajar yang dilaksanakan gereja, dihasilkan pertumbuhan rohani yang berkesinambungan yang dijewantahkan semakin mendalam melalui pengabdian kepada Allah Bapa Tuhan Yesus Kristus berupa tindakan kasih terhadap sesama.[24]

Jedida T. Posumah-Santosa mengatakan Pendidikan Agama Kristen bukan hanya mengarah pada penguasaan-penguasaan pengetahuan dan ketrampilan, tetapi kepada perilaku dan kepribdian yang matang. Sasaran akhirnya adalah seorang pribadi yang memiliki integritas diri, mampu menggunakan imannya dalam menjawab tantangan hidup dan mampu memanusiakan sesama dengan berbagai kehidupan yang sejahtera yang dikaruniakan Allah kepada manusia. Dengan kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk memampukan manusia mengambil bagian secara aktif, kreatif dan kritis dalam pembangunan masa depan bersama yang lebih baik dari pada masa lalu dan kini.[25]

Andar Ismail mengatakan bahwa dimensi kekristenan sangat penting sebagai kaidah, norma, referensi, modal dan tolak ukur dari seluruh performance pendidikan Kristen kita. Dimensi kekristenan ini harus dijaga agar tidak terjebak dan berhenti pada kekristenan yang bersifat verbal, label, ornament (salib, nama jalan, stiker), hanya pada faktor-faktor luar saja, yang bisa dilihat dengan mata dan diraba dengan indra kita, tetapi suatu kekristenan yang aktual, konkrit, mewujudkan, operasional.[26]

Dari pendapat diatas disimpulakan bahwa Pendidikan Agama Kristen adalah usaha sadar yang dilakukan baik oleh gereja, sekolah maupun keluarga untuk menyiapkan peserta didik yang tidak hanya menghayati, mengamalkan firman Allah yang diajarkan namun peserta didik juga mampu untuk mewujudkan imannya dalam suatu kekristenan yang aktual dan konkrit dimana peserta didik mampu menggunakan imannya dalam menghadapi kenyataan dunia yang plural dengan tidak tertutup dengan berbagai kemajemukan yang ia temui namun mampu bersikap dalam menerima dan hidup bersama kehidupan yang plural dengan tidak kehilangan identitas sebagai seorang kristiani yang mampu mengambil bagian yang aktif, kreatif dan kristis serta menjadi pembawa damai sejahtera dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat.

 

Persepsi  Siswa tentang Pluralisme

Dunia pendidikan terus mengalami perubahan dan perkembangan. Kurikulum sering dibongkar pasang agar ditemukan formula yang tepat untuk menjawab kebutuhan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi masa depan yang unggul yang mampu bersaing di era globalisasi. Pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher center) diganti dengan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (students center), muatan materi yang lebih menitikberatkan pada aspek kognitif sudah ditinggalkan karena dengan kurikulum 2013 muatan kurikulum setiap mata pelajaran memiliki tiga muatan utama yaitu Afektif atau sikap (spiritual dan social), kognitif atau pengetahuan dan psikomotor atau ketrampilan yang terintegrasi diharapkan dengan ketiga muatan ini diharapkan menghasilkan manusia Indonesia yang Produktif, kreatif, inovatif,  dan afektif dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi sebagai individu dan bangsa, serta toleran terhadap segala perbedaan yang ada.[27]

PAK di SMA/SMK secara keseluruhan ingin memotivasi serta mencerahkan visi dan iman peserta didik untuk bertumbuh menjadi remaja yang memiliki karakter kristiani. Dalam pertumbuhan itu, mereka mampu menjalankan perannya di tengah keluarga, sekolah, gereja dan masyarakat. Hal ini penting karena iman Kristen adalah iman yang hidup yang menggerakkan orang beriman untuk mampu mengaktualisasi diri secara sehat sebagai pribadi, sebagai bagian dari keluarga, gereja dan masyarakat bangsa Indonesia yang majemuk. Dalam kurikulum 2013 metode dan kurikulumnya PAK yang dikembangkan adalah PAK yang dialogis dengan kemajemukan namun juga dapat menginspirasi dan mendorong setiap peserta didik untuk terlibat dalam upaya-upaya transformasi masyarakat. Isu-isu keadilan dan hak asasi manusia serta ekologis, seperti kemiskinan, diskriminasi, kekerasan dan dan kerusakan lingkungan hidup diupayakan untuk menjadi perhatian PAK, baik di gereja maupun di sekolah-sekolah. Di tingkat SMK kelas XII peserta didik akan dihadapkan pada materi kehidupan multikultur. Penulis menyajikan materi kehidupan multikultur dengan pengertian paham pluralisme dengan menggunakan metode diskusi. Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara terhadap 10 orang peserta didik di SMK N 1 Maluku Tenggara tentang pengertian pluralisme. Persepsi peserta didik tentang pluralisme yaitu ada peserta didik yang tidak mengetahui arti pluralisme.

Saya tidak terlalu memperhatikan dan kurang mengerti. [28]Saya tidak setuju karena bagi saya Yesus yang menyelamatkan, jadi seng (tidak) ada jalan lain dalam Yesus. [29]Tidak mengerti beta (saya) seng (tidak) perhatikan dengan baik. Tidak tau (tahu), [30]jadi beta (saya) seng (tidak) mengerti.[31]

Dari jawaban diatas dapat dilihat bahwa ada factor-faktor yang mengakibatkan peserta didik benar-benar tidak tahu bahkan tidak mengerti tentang pluralisme, antara lain:

1.      peserta didik tidak memfokuskan indranya (perhatian) pada pelajaran yang disampaikan oleh guru sehingga informasi (stimulasi) yang seharusnya diserap oleh peserta didik tidak masuk pada otak peserta didik sehingga peserta didik tidak dapat memberikan pengertian pluralisme.

2.      peserta didik memiliki pandangan agama yang ekslusif

3.      Karena metode mengajar yang digunakan oleh guru, yaitu metode diskusi yang memiliki kelemahan diantarannya yaitu:

1)      Peserta diskusi mendapatkan informasi yang terbatas

2)      Hanya dikuasai oleh peserta didik yang suka bicara

3)      Metode ini majemuk kalau pemimpin tidak cakap dan pembicaraan menjadi tidak terarah dan bertele-tele.

Berdasarkan hasil wawancara mengenai pandangan peserta didik SMK N 1 Kabupaten Maluku Tenggara tentang makna Pluralisme, antara lain:

Paham yang mengajarkan tentang menghormati perbedaan yang ada dan Bertoleransi dengan umat beragama lain tanpa membedakan agama. [32]Kemajemukan, kemajemukan dipadu sebagai sesuatu kekayaan. Perbedaan agama merupakan jalan untuk mengahayati dan untuk lebih memahami dan menghargai agama lain. [33]Sesuatu yang berbicara tentang perbedaan agama dan mengajak kita untuk saling berdampingan. Kemajemukan agama, ada berbagai agama. [34]Cara hidup dalam lingkungan yang berbeda agama, saling menghargai.[35]

Dari pandangan peserta didik tentang pluralisme ini, maka dapat dilihat bahwa, peserta didik mengetahui bahwa pluralisme adalah suatu keadaan yang majemuk/berbeda. peserta didik tidak melihat perbedaan dalam ajaran keselamatan/dogma yang terkandung dalam agama-agama tersebut, namun peserta didik melihat kemajemukan dalam artian yang luas yaitu kemajemukan itu sendiri merupakan wadah/tempat yang menumbuhkan rasa menghormati, menghargai dan bertoleransi terhadap sesama manusia.

Dari jawaban peserta didik maka dapat dilihat bahwa peserta didik menekankan aspek toleransi didalam pluralism. Hal ini ditentukan kembali oleh Masykuni Abdulah bahwa pluralistic tidak dapat dilepas pisahkan dari toleransi sebab, toleransi tanpa sikap pluralistic tidak akan menjamin tercapainya kerukunan antar umat beragama begitu pula sebaliknya. Pluralisme adalah keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok klutural dalam suatu masyarakat atau Negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan kelembagaan dan sebagainya. Defenisi seperti inilah yang menurut Masyukuni Abdullah mengandung pengertian social atau primodial untuk merealisasikan dan mendukung konsep tersebut diperlukan adanya toleransi.[36]

Adapun toleransi itu sendiri berarti kemampuan untuk menghomati sifat dasar, keyakinan dan perilaku yang dimiliki orang lain. Dalam literatur agama (islam) toleransi disebut sebagai sifat tasamuh artinya adalah sifat atau sikap menghargai,membiarkan,atau membolehkan pendirian (pandangan) orang lain yang bertantangan dengan pandangan kita.[37]

Sebagai prinsip metodologis, toleransi adalah penerimaan terhadap yang tampak sampai kepalsuan tersingkap. Toleransi relevan dengan epistimologi, ia juga relevan dengan etika sebgai prinsip menerima apa yang dikehendaki sampai ketaklayaknya tersingkap dan toleransi adalah keyakinan bahwa keanekaragaman agama terjadi karena sejarah dan semua factor yang mempengharuhnya, kondisi ruang dan waktunya berbeda, prasangka, keinginan dan kepentingannya. Dibalik keanekaragaman agama berdiri ad-Din al-Hanif, agama fitrah Allah, yang mana manusia lahir bersamanya sebelum akultrasi membuat manusia menganut agama ini atau itu.[38]

Berbicara tentang toleransi Kristiani, maka tidak dapat disangkal bahwa kitapun berbicara tentang toleransi agama tersebut, maka akan terungkap pula pokok-pokok pandangan tentang kerja sama antar umat beragama di Indonesia. Dengan berbicara toleransi, maka kita menunjukan adanya suatu kerelaan untuk menerima kenyataan adanya orang lain disekitar dan disamping kita.  Karena hidup itu selalu nyata dalam interaksi antar berbagai golongan, maka sikap toleransi seperti itu pun mau tidak mau haruslah sama dengan mengambil bentuk yang beraneka ragam. Toleransi berarti endurance atau ketabahan yang bukan hanya menunjukan pada sikap membiarkan orang lain hidup disekitar kita tanpa larangan dan penganiayaan. Toleransi dalam artian seperti ini khusunya dibidang agama menunjuk pada kerelaan kesediaan untuk memasuki dan memberlakukan agama lain dengan penuh hormat dalam suatu dialog dengan orang lain secara terus-menerus tanpa perlu dipengharui oleh pendapat lain dalam dialog tersebut. Dialog yang sebenarnya adalah kesediaan untuk mendengar dari kedua belah pihak tanpa jatuh kedalam bahasa sinkritisme,skeptisme,dan relativisme.[39]

Jhon Ruhulesin mengatakan bahwa ada titik tolak yang diambil untuk membangun hubungan antar agama dalam masyarakat majemuk atau masyarakat pural yaitu cara pandang yang hormat, santun, toleran, kritis dan manusiawi terhadap perbedaan agama amat diperlukan sekarang ini, terutama ketika dalam masyarakat muncul kecenderungan memandang pluralisme atau perbedaan itu dengan sikap apriori,kecurigaan malah sangat taktis dan politis.[40]

(mohon maaf panitia..saya masih melanjutkan pembahasan namun karena waktu sudah mau ditutup saya kirimkan dulu…nanti akan saya tambahkan bila diperkenankan karena pembahasan karena memang blm selesai, implikasi PAK serta kesimpulan dan saran dan daftar pustaka)

 

 

 

 

 

 



[1] Aholiab watloly, Menumbuhkan Kesadaran Dan Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Memantapkan Kerjasama  Antara Agama-Agama Orang Basudara Di Maluku, Disampaikan Dalam Seminar “Meretas Keadilan Bersama”, Diselenggarakan  oleh LAKPESDAM NU Maluku dan USC Satu Nama Jogjakarta, Ambon 2007, hal 1.

[2] D’Adamo Arthur, Science Without A Synthesis Of Science, Religion and Mystcs, dalam Abidin Wakano, “ Memahami Konsep Inklusivisme dan pluralism, Cak Nur, Diskusi Publik. “Islam dan kemajemukan di Indonesia, diselenggarakan oleh Lembaga Study Agama dan Filsafat, Universitas Paramadina dan Universitas Pattimura, Ambon 2007, hal 8

[3] Ibid, hal 14

[4] Ibid, hal 11-12

[5] Joas Prasetya, “Mencari Dasar Bersama” (Etik Global Dalam Kajian Postmodernisme dan Pluralisme Agama), Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2002, hal 64

[6] Abidin Wakano Op.Cit, hal 14

[7] Mifta Thoha, Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan aplikasi, Jakarta, Rajawali, 1989, hal 12

[8] http://www defenisi pengertian.com diakses oleh Sarah Laisila

[9]  Pengertian persepsi berbeda dengan Perspektif. Perspektif mempunyai dua pengertian yaitu; cara melukiskan suatu benda dan lain-lain pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (Panjang, lebar dan tingginya) : sudut pandang; pandangan (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-2, Jakarta Balai Pustaka, 1996, hal 246)

[10] http://www persepsi.com

[11] Miftha Thoha, Op. Cit, hal 103-105

[12] https://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme diakses oleh Sarah Laisila

[13] Th Sumartana. Theologia Relegionum dalam Tim Balitbang PGI, Teologi Agama-Agama di Indonesia(Theologia Religinioum), Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2000, hal 18

[14] Aholiab Watloly, Op.Cit, hal 3

[15] John Hick, Mitos Keunikan Agama Kristen (The Myth Of Christian Uniqurness), dalam Joas Adiprasteya, Op.Cit, hal 75-76

[16] Harold Coward, Pluralisme, Tantangan Bagi Agama-Agama, Jogjakarta, Kanisius, 1994, hal 58-59

[17] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Sebuah Telaah Kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan), dalam Abidin Wakano, Op. Cit, hal 6

[18] Nurcholish Madjid, “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi, “Tantangan dan Kemungkinan”, dalam Abidin Wakano, Op. Cit, hal 9

[19] Martin L Sinaga, Teologi Agama-agama dalam Tim Balitbang PGI, Op. Cit, hal 1-2

[20] Stenley J. Samantha, Courage For Dialogue dalam Harold Coward, Op. Cit, hal 76-77

[21] Wilferd Cantwell Smith, The Faith Of Other Men dalam Harold Coward, Op. Cit, hal 61

[22] S.C. Utami Munanadar, Beberapa Pokok Pikiran Tentang Penyelenggaraan PAK Melalui Jalur Sekolah dalam Weinata Sairin (Penyunting), Identitas Dan Ciri Khas Pendidikan Kristen Di Indonesia antara Konseptual dan Operasional, Jakarta, BPK Gunung mulia, 2003, hal 153

[23] W.P. Napitupulu, Memantapkan Pelaksanaan Identitas dan Ciri Khas Pendidikan Kristen secara Kontinyu dan Konsisten dalam Wenata Sairin, Op. Cit Hal 26

[24] Roberth R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pemikiran dan Praktek PAK dari Plato-Loyola, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2002, hal 413

[25] Jedida.T. Posumah-Santosa, Pendidikan Agama Kristen di Sekolah:Suatu Bidang Studi atau Asuhan Iman Kristen? Dalam andar Ismail, Op.Cit, hal 114

[26] Andar Ismail, Misi dan Visi Sekolah Kristen di Dalam Masyarakat Majemuk Indonesia yang sedang berkembang dalam Weinata Sairin, Op. Cit, hal 156

[28] Hasil wawancara dengan Yohana Kombade, tanggal 05 Oktober 2020, di SMK N 1 Kabupaten Maluku Tenggara, jam 10.00 WIT

[29] Hasil wawancara dengan Yohana Nelson Raubun, tanggal 05 Oktober 2020, di SMK N 1 Kabupaten Maluku Tenggara, jam 10.00 WIT

[30] Hasil wawancara dengan Nikson Hairtua , tanggal 05 Oktober 2020, di SMK N 1 Kabupaten Maluku Tenggara, jam 10.00 WIT

[31] Hasil wawancara dengan Hendrik Letlet, tanggal 05 Oktober 2020, di SMK N 1 Kabupaten Maluku Tenggara, jam 10.00 WIT

[32] Hasil wawancara dengan Richardo Raubun, tanggal 05 Oktober 2020, di SMK N 1 Kabupaten Maluku Tenggara, jam 12.00 WIT

[33] Hasil wawancara dengan Yohanis Hurlean, tanggal 05 Oktober 2020, di SMK N 1 Kabupaten Maluku Tenggara, jam 12.00 WIT

[34] Hasil wawancara dengan Yandri Rahantoknam, tanggal 05 Oktober 2020, di SMK N 1 Kabupaten Maluku Tenggara, jam 11.00 WIT

[35] Hasil wawancara dengan Hendrik Letlet, tanggal 05 Oktober 2020, di SMK N 1 Kabupaten Maluku Tenggara, jam 10.30 WIT

[36] Masyakuni Abdullah, stusdi Agama, Normavitas atau Historisitas dala Syamsul Ma’arif, Op.Cit, hal 13

[37] The Heritage Ilustrated Distionary Of TheEnglish Language

[38] Iskandar Syahrullah, diskurs Toleransi Beragama, dalam Syamsul Ma’arif, Op.Cit, hal 14

[39] Victor I. Tanja, Pluralisme Agama dan Problema Sosial (Diskurs Teologi tentang isu-isu Kontemporery), Cidesina, 1998, hal 13-14

[40] Jhon ruhulesi, Pluralisme berwajah humanis (Sketsa pemikiran DR. Jhon Ruhulesin), Lesmmu, Ambon, 2007

ARTIKEL ILMIAH

  ABSTRAKSI Nama:Sarah Meltina Laisila;NIP 19850131 2009 04 2 001;   Judul: Persepsi peserta didik tentang Pluarlisme (Studi PAK di SMK N ...