ABSTRAKSI
Nama:Sarah
Meltina Laisila;NIP 19850131 2009 04 2 001;
Judul: Persepsi peserta didik tentang Pluarlisme (Studi PAK di SMK N 1
Maluku Tenggara);
Masyarakat
Maluku Tenggara memiliki kehidupan yang plural, dimana terdapat keanekaragaman
adat istiadat, suku, budaya, bahasa, status ekonomi, politik dan agama. Ada
tiga agama besar yang hidup dan berkembang dimasyarakat Maluku tenggara yaitu
Islam, Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Dengan adanya ketiga agama ini
maka akan melahirkan pandangan ekslusivisme, inklusivisme dan pluralisme.
paham ekslusivisme dan inklusivisme telah diketahui bahkan dianut peserta didik
namun Pluralisme belum di ketahui oleh peserta didik. Apakah peserta didik
mampu menerima paham Pluralisme ini dalam kehidupan beragama mereka ataukah
mereka menolak paham ini karena telah menganut paham ekslusivisme dan
inklusivisme?. Peserta didik dalam
kenyataan kehidupan bermasyarakat yang majemuk tidak dapat ia hindari baik itu
disekolah maupun dalam kehidupan masyarakat. Kemajemukan ini dapat melahirkan
konflik dan berbagai masalah social lainnya bila cara pandang peserta didik
sempit dan terbatas. Kehidupan majemuk dapat dijadikan kekayaan yang dapat
dijaga dan dipelihara bila pandangan beragama peserta didik terbuka terhadap pandangan
pluralisme. Hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk melakukan
penelitian tentang persepsi peserta didik terhadap pluralisme.
Untuk
menganalisis data, maka pada kajian pustaka penulis menggunakan teori yang
meliputi: pengertian persepsi, pluralisme dan pendidikan agama Kristen. Jedida
T. Posumah Santosa mengatakan pendidikan agama Kristen bukan hanya mengarah
pada penguasaan-penguasaan pengetahuan dan ketampilan tetapi kepada pribadi
yang matang. Sasarannya akhirnya adalah seorang pribadi yang memiliki
integritas diri, mampu menggunakan imannya dalam menjawab tantangan hidup yang
mampu memanusiakan manusia, sesama dengan berbagai kehidupan yang sejahtera
yang dikaruniakan Allah bagi mereka. Dengan kata lain, pendidikan dimaksudkan
untuk memampukan manusia mengambil bagian secara aktif, kreatif dan kritis
dalam pembangunan masa depan bersama yang lebih baik dari masa lalu dan masa
kini. Dan sikap pluralisme adalah salah satu kebutuhan pendidikan agama Kristen
saat ini.
Dalam
metodologi penelitian, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif.
Sedangkan analisa data yang digunakan adalah analisa kualitatif yang meliputi
reduksi data, penyajian data, penarikan, kesimpulan atau verivikasi.
Pada
hasil penelitian ini maka hasil yang didapat antara lain: persepsi peserta
didik dan implikasi PAK.
Pada
bagian penutup terdiri atas : Kesimpulan yang merupakan rangkuman dari seluruh
isi atau pembahasan sedangkan saran memberikan masukan bagi pelaksanaan PAK
disekolah terkhusus bagi peserta didik dan guru di SMK N 1 Maluku Tenggara.
Kata
kunci : Persepsi, Pluralisme, Pendidikan Agama Kristen.
Pendahuluan
Pluralitas dalam kehidupan manusia merupakan fakta
social yang buka saja tak dapat dihindari. Tetapi lebih dari pada itu telah
menjadi persoalan dan pergumulan abadi dalam membangun hidup keberagaman dan
bermasyarakat. [1]
Masalah
dalam pluralitas akan terjadi apabila secara teologis pluralitas hanya mengacu
pada eksoterisme agama yaitu, pandangan secara umum terhadap agama lain, yang
mengakibatkan corak keberagaman kehilangan nilai emansipasi dan transformasi
didalam masyarakat. [2]Untuk
itu diperlukan suatu pengertian akan segi konsekuensial dari sikap keagamaan
kita, yang menentukan pandangan kita terhadap agama-agama lain.[3]
Dalam
penelitian ilmu-ilmu agama (Relegious
studies), ada tiga sikap keberagamaan yang dominan yaitu:
Pertama,
Ekslusifisme, Arthur D’Adam, mengatakan bahwa “ Cara Pandang Agama “ (Religions Way Of Knowing) yang
ekslusif, justru menjadi akar seluruh konflik antar umat beragama yang timbul
kemudian. Karakteristik Religions Way Of
Knowing yang ekslusif, menurut Arthur D’ Adamo berangkat dari sebuah
paradigma hanya agama dan kitab sucilah sumber kebenaran, dan sepenuhnya
diyakini sebagai ; (1) bersifat konsistensi dan berisi kebenaran-kebenaran yang
tanpa kesalah sama sekali ; (2) bersikap lengkap dan final dan karena itu memang
tidak memerlukan kebenaran dari agama lain ; kebenaran agama sendiri dianggap
sebagai satu-satunya jalan keselamatan, pencerahan dan pembebebasan ; dan (4)
Seluruh kebenaran diyakin original dari Tuhan dan bukan konstruksi manusia.[4]
Kedua,
Inklusivisme yaitu sikap yang mencoba untuk mencakup seluruh agama dibawah penebusan
oleh Yesus Kristus sekaligus tetap menghormati legitimasi agama lain.[5]
Ketiga,
Pluralisme, paradigma ini percaya bahwa setiap agama (agama-agama diluar agama
Kristen), mempunyai keselamatan sendiri, dan karena itu klaim bahwa
Kristianitas adalah satu-satunya jalan (sikap ekslusif) atau melengkapi jalan
keselamatan yang lain (sikap inklusif), harus ditolak demi alasan
fenomenologis. Yaitu setiap agama memiliki keyakinan memiliki jarak yang sama
pada Tuhan sebagai pusat keberadaan dan kebenaran. Semua agama melayani dan
melindungi-Nya. Di sini kesejajaran antar pemeluk agama sangat dijunjung
tinggi. Meski demikian, pluralisme tidak
bertujuan mencapai “keseragaman bentuk agama” sebab gagasan itu tidak saja
absurd tetapi juga a-historis. Jadi yang dibutuhkan adalah “saling menyapa” dan
memberi kontribusi positif bagi penyelesaian problema bersama masyarakatdari
perspektif keagamaan masing-masing.[6]
Kehidupan
masyarakat di kabupaten Maluku Tenggara
hidup dan berkembang dalam kemajemukan suku, yang memiliki
adat-istiadat, budaya dan bahasa, status ekonomi, social, poltik dan agama. Ada
tiga agama besar yang hidup dalam masyarakat kabupaten Maluku Tenggara yaitu
agama Islam, Kristen protestan dan Kristen Katolik. Dengan adanya keberagaman yang berbeda ini
maka memunculkan pandangan terhadap agama yang berbeda yaitu ekslusivisme,
inklusivisme dan pluralisme.
Sikap
keberagamaan ini juga dimiliki oleh peserta didik pada SMK N 1 Maluku Tenggara
yaitu ekslusivisme dan inklusivisme. Siswa yang memiliki pemahaman ekslusivisme
karena pergaulan peserta didik hanya dengan teman seiman. Kedua yaitu penanaman
nilai-nilai Pendidikan agama Kristen (PAK) yang diajarkan disekolah
minggu/Tunas Pekabaran injil bahkan disekolah yang menanamkan cara pandang yang
ekslusifisme. Ketiga, letak geografis tempat tinggal peserta didik yang dominan
1 agama saja. Misalnya 1 desa didominasi oleh 1 agama misalnya agama katolik
sebagian besar di desa (Ohoi) Debut. Kristen Protestan di Ohoi Dian Darat, dan agama Islam di Ohoi Letman.
Peserta
didik yang memiliki pemahaman inklusivisme, lebih banyak didapat lewat
pergaulan yang lebih terbuka yaitu menjalin persahabatan/pertemanan dengan
peserta didik yang berasal dari agama yang berbeda dimana di satu kelas
ditempatkan peserta didik yang teridiri dari tiga agama yang berbeda. Hubungan
kekeluargaan/kekerabatan dan adat istiadat yang karena pertalian darah terdiri
atas berbagai agama misalnya dalam marga Hukubun, Ingratubun, Rahayaan ada yang
beragama Islam, Kristen Protestan dan Katolik. Adat istiadat misalnya Hukum
Larvul Ngabal dan falsafah Ain Ni Ain ( satu punya satu), yang mengikat tali
persaudaraan tanpa melihat perbedaan agama.
Peserta
didik belum sampai pada paham Pluralisme padahal paham ini mempunyai manfaat
yang penting dalam kehidupan bersama dalam masyarakat Maluku Tenggara yang
plural. Dengan paham ini diharapkan membuka
pemikiran peserta didik untuk menerima kenyataan bahwa keberagaman agama yang
begitu banyak dapat diterima dengan paham pluralisme. Apalagi pada materi
pembelajaran dikelas XII peserta didik akan mendapatkan materi pelajaran
tentang multikultur. Agar materi ini dapat kompetensi dasar dan indicator
pencapaian yang telah ditetapkan guru maka peserta didik terlebih dahulu
memiliki persepsi yang baik terhadap kehidupan beragama. Dengan demikian
peserta didik dapat menjadi pembawa damai sejahtera bagi kehidupan masyarakat. Dengan
demikian maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Persepsi
peserta didik tentang pluralisme” (Studi PAK di SMK N 1 Maluku Tenggara).
Mengingat
banyaknya pluralisme bahasa, suku, adat-istiadat, ekonomi, social, budaya,
agama maka penulis memilih pluralisme dalam agama dan penelitian dilakukan pada
peserta didik di SMK N 1 Maluku Tenggara yang beragama Kristen Protestan.
Tujuan
penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji dan menganalisis persepsi peserta
didik di SMK N 1 Maluku Tenggara mengenai pluralisme dengan demikian maka diharapkan
penelitian ini dapat memberikan pemahaman
bagi peserta didik di SMK N 1 Maluku Tenggara mengenai konsep cara pandang
terhadap kemajemukan agama yaitu pandangan pluralisme dalam kehidupannya
sehingga kemajemukan agama dapat dijadikan sebagai kekayaan yang dijaga dan
dipelihara.
KAJIAN
PUSTAKA
Pada
bagian ini penulis akan mendeskripsikan tentang beberapa teori yang digunakan
untuk menganalisa data yang kaji oleh penulis meliputi: pengertian persepsi,
pluralisme dan Pendidikan Agama Kristen (PAK)
Pengertian
Pluralisme
Menurut
Miftah Thoha, kunci memahami persepsi, itu tergantung pada pengenalan yang
merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi. Persepsi membawa kesan
tersendiri dalam proses kondisi yang dapat mengambil gambaran umum tentang
kenyataan-kenyataan yang berada dalam pengertian suatu objek rangsangan akan
menghasilkan persepsi. Dengan demikian persepsi berarti berhubungan dengan
panca indra, khususnya hasil pengamatan.[7]
Persepsi
menurut Rakhmat Jalaludin adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan penafsiran
pesan. Sedangkan menurut Ruch, persepsi adalah suatu proses tentang
petunjuk-petunjuk indarawi (sensory)
dan pengalaman masa lampau yang relevan dan terorganisir untuk memberikan
kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu.
Sejalan dengan itu, Atkison dan Hilgard mengemukakan bahwa persepsi adalah
suatu proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasi pola stimulus dalam
lingkungan. Gibson dan Donely menjelaskan bahwa persepsi merupakan suatu
pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu.[8]
Oleh
karena itu, persepsi bertautan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus
tentang kejadian pada saat tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja stimulus
menggerakan indera. Dalam hal ini persepsi diartikan sebagai proses mengetahui
atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indra, sebagai cara
pandang, persepsi timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus yang
diterima seseorang sangat kompleks, stimulus masuk ke otak, kemudian diartikan,
ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit, kemudian menghasilkan
persepsi.[9]
Dalam
hal ini, persepsi mencakup penerimaaan stimulus (input), pengorganisir stimulus
dan penerjemah atau penafsiran stimulus yang telah diorganisir dengan
cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan bentuk sikap, sehingga orang
dapat cenderung menafsirkan perilaku
orang lain sesuai dengan keadaan sendiri.[10]
Proses
pembentukan persepsi dijelaskan oleh Feigi sebagai pemaknaan hasil pengamatan
yang diawali dengan adanya stimulus. Pada saat selanjutnya terjadi seleksi yang
berinteraksi dengan “interpretasion”,
begitu juga berinteraksi dengan “closure”.
1. Proses
seleksi terjadi pada saat seeorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung
proses penyeleksian pesan tentang pesan mana yang dianggap penting dan tidak
penting. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan rangsangan
yang diterima akan tergantung pada apa yang
pernah ia pelajari, apa yang suatu saat menarik perhatiannya dan kearah mana
persepsi itu mempunyai kecendrungan. Ini berarti juga bahwa ada keterbatasan
dalam kemampuan seseorang untuk menerima rangsangan.
2. Persepsi
itu mempunyai tatanan
3. Orang
menerima rangsangan tidak dengan cara sembarangan. Ia akan menerimanya dalam
bentuk hubungan-hubungan atau kelompok-kelompok. Jika rangsangan yang datang
tidak lengkap, ia akan melengkapinya sendiri sehingga hubungan menjadi jelas.
4. Persepsi
dipengaruhi oleh harapan atau kesiapan (penerima rangsangan) harapan dan
kesiapan penerima pesan akan menentukan pesan mana yang akan dipilih untuk
diterima, selanjutnya bagaimana pesan itu dipilih akan ditata dan demikian pula
pesan itu akan dinterpretasikan.
5. Persepsi
seseorang atau kelompok dapat jauh berbeda dengan persepsi orang atau kelompok
lain sekalipun situasinya sama.[11]
Jadi
persepsi tentang pluralisme dalam agama yaitu proses masuknya stimulus
(informasi tentang pluralisme) ke otak peserta didik lewat indranya akan
terjadi proses yang rumit dan kemudian menghasilkan persepsi. Persepsi
dipengaruhi oleh factor dari dalam maupun dari luar. Factor dari dalam ini
berkaitan dengan pemusatan indra peserta didik dan pengalaman masa lalu. Factor
dari luar yaitu sumber informasi dari guru sebagai pemberi respons.
Pengertian
Pluralisme
Pluralisme
berasal dari kata “pluralism”
(Inggris) dalam masyarakat. Yang terdiri
dari dua kata plural (= beragam) dan isme (=paham) yang berarti paham atas
keberagaman. Defenisi dari pluralisme sering kali disalahartikan menjadi
keberagaman paham yang akhirnya memicu ambiguitas. Pluralisme juga dapat
berarti kesediaan untuk menerima keberagaman (pluralitas), artinya hidup secara
toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda suku, golongan, agama, adat hingga
pandangan hidup. Pluralisme mengimplikasikan pada tindakan yang bermuara pada
pengakuan kebebasan beragama, kebebasan berpikir, atau kebebsan mencari
informasi, sehingga untuk mencapai pluralisme diperlukan adanya kematangan dari
pribadi seseorang dan/atau sekelompok orang. [12]
Lebih
luas lagi pluralisme adalah sebuah ism
atau aliran tentang pluralitas (a
pluralism ia an “ism” about a “plurality”). Demikianlah defenisi yang
disampaikan Richard J. Mouw dan Sander Griffon. Istilah pluralism disini harus
dibedakan dengan pluralitas. Meskipun keduanya sering dipakai secara bergantian
tanpa penjelasan tentang apakah kedua kata ini mempunyai kata yang sama atau
berbeda. Ada kaitannya dengan pluralisme dengan pluralitas mempunyai kata yang
sama yaitu bersifat plural, jamak dan
banyak. Pluralisme dimaksudkan bukan untuk keadaan jamak atau banyak.
Pluralisme adalah suatu sikap yang mengakui dan sekaligus menghargai,
menghormati, mememlihara, dan bahkan mengembangkan keadaan yang bersifat
plural, jamak dan banyak itu.
Menurut
Th.Sumartana, pluralisme bukan sekedar multiplikasi kepelbagaian, bukan hanya
eksistensif melainkan kualitatif. Pluralisme masa sekarang, jenis, bentuk dan
isinya berbeda dengan pluralisme yang kita alami di masa lampau. Pluralisme
masa lampau menuntun suatu respons kerukunan, ko-eksistensi, dan keserasian
hidup dari kelompok-kelompok agama dimasyarakat. Corak kepelbagaian itu
bersifat pasif, kalau mendatanginya baru mengalaminya, akan tetapi pluralism
sekarang ini bersifat sangat aktif, kalau kita tidak memperdulikannya, maka
kita akan digilas. Pluralisme dimasa sekarang terjadi karena tiap-tiap kelompok
itu sudah mengalami proses emansipasi bersama , dan tampil bersama secara
setara. Tidak ada orang bisa bilang bahwa suatu pihak tidak punya hak untuk
tampil. Dengan demikian, dikatakan bahwa pluralism jenis sekarang ini tampil
bersama dengan keadaan emansipatoris dan setiap kelompok yang ada dalam
masyarakat. Kenyataan semacam ini melahirkan urgensi baru untuk memahami serta
menanggapinya secara baru. Secara kuantitatif, pluralism dimasa sekarang jumlahnya lebih banyak dan lebih kompleks dibanding
yang ada pada masa lampau. Ini yang disebut multiplikasi kepelbagaian.
Muncul kombinasi-kombinasi serta
berbagai bentuk campuran dari berbagai agama yang muncul menambah jumlah kelompok-kelompok agama tersebut, baik
secara intern maupun eksteren. Pada satu pihak, kita melihat jumlah dedominasi
gereja bertambah, tetapi jumlah agama bertambah pula. Ada gejala yang kita
sebut “new age”, ada begitu banyak
“sekte-sekte” sempalan yang merupakan campuran dari berbagai macam agama, dan
juga kombinasi agama dengan berbagai bentuk ideologi.[13]
Pluralitas
(kemajemukan) dan pluralisme (paham kemajemukan) menurut Aholiab Watloly
meskipun memiliki kesamaan objek material karena menunjuk pada fakta perbedaan
dan kemajemukan hidup, namun secara filosofis, memiliki perbedaan objek formal
(cara pemikiran). Maksudnya bila pluralitas meletakan pemikiran atau cara pandang
pada aspek perbedaan dan fakta kemajemukan, maka pluralisme atau paham tentang
kemajemukan berusaha untuk mengelola, menata atau memenej dan mengembangkan
kemajemukan tersebut dalam sebuag sinergitas (kerjasama) yang saling memperkaya
dan saling menyumbang pada proses otonomi diri dan kemandirian hidup yang
sejati. Dengan demikian kemajemukan tersebut tidak berjejer sebagai
kekuatan-kekuatan yang egois serta mengancam, memangsa dan melenyapkan
(ber-negasi) tetapi saling menyapa atau saling menghidupkan dalam otonomi diri
dan kekuasaan. [14]
Mengenai
pemikiran pluralisme seperti yang digambarkan dalam buku Mitos Keunikan Agama
Kristen (The Myth of Chiristian Uniqurness), John Hick berkata :” dan kita
harus menyadari bahwa semesta iman berpusat pada Allah dan bukan pada
kekristenan atau pada agama lain manapun. Ia adalah matahari, sumber awal
terang dari terang kehidupan, yang agama-agama refleksikan dalam cara-cara
mereka sendiri secara berbeda. Hick sangat gemar menggunakan istilah “semesta
iman” (The univers of faiths) dan
dengan impresif, Hick mencoba menerangkan posisi teologinya dengan memakai
analogi astronomi.[15]
Sebagaimana
dalam astronomi Ptolemus bumi dilihat sebagai pusat sistem matahari dengan
semua planet lainnya berputar mengelilingi
bumi, sehingga dalam teologi Ptolemeus Kristus dilihat sebagai pusat
dari semua agama. Agama-agama lain dianggap berputar disekitar agama Kristen
dan digolongkan sesuai dengan jauh dekatnya disekitar agama Kristen. Hick
berpendapat bahwa pendekatan Ptolemeus tersebut memang dapat juga digunakan
oleh agama lain. Seorang penganut agama Hindu misalnya dapat mengatakan bahwa
orang Kristen yang saleh secara tersirat adalah orang-orang Hindu, bahwa
agama-agama lain merupakan jalan biasa tetapi agama Hindu adalah jalan yang istimewa,
bahwa Hindu bukanlah agama melainkan kebenaran abadi yang menilai dan
menggantikan semua agama (Karl Bath) dan seterusnya. Pendirian ini dapat
diambil dari seorang teologi dari setiap agama, namun kenyataannya itu hanyalah sebuah pendirian sementara
selagi kita mempersiapkan diri untuk teori Capernicus. Sebagaimana Capernicus
berpendapat bahwa, matahari, dan bukan bumi yang mejadi pusat, demikianpun
“kita harus menganggap bahwa seluruh agama berpusat kepada Allah, dan bukan
pada agama Kristen atau pada salah satu agama ruang lain”. Dia adalah matahari,
sumber asal dari cahaya kehidupan yang digambarkan oleh semua agama dengan cara
masing-masing. Jika demikian halnya, maka dapat diharapkan bahwa Allah,
sebagaimana tercermin dalam aneka ragam peradaban menjadi nyata dalam
wahyu-wahyu atau agama-agama yang berbeda. Namun sekalipun ada perbedaan
diantara bermacam-macam wahyu, kita dapat percaya bahwa dimana-nama Allah Esa
sedang bekerja mencetak pada jiwa manusia ( pressing
in upon the human spirit).[16]
Pluralitas
yang dikembangkan oleh Nurholish Madjid, adalah menempatkan pluralitas sebagai
keniscayaan-realitas. Bahwasannya pluralitas merupakan keadaan ontologism dari
penciptaan kosmik beserta isinya. Pluralitas adalah grand design Tuhan. Oleh
karena itu, “ada” bersama adanya kosmik, maka tidak ada sikap lain bagi manusia
kecuali menerimanya sebagai suatu keniscayaan.[17]
Nurholish
Madjid mengatakan pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati
kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”(genuine
engagement of diverseties within the bonds of civility). Bahkan pluralisme
adalah juaga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, dalam Kitab Suci
justru disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan
antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu
wujud kemurahan yang melimpah kepada uamat manusia. “seandainya Allah tidak
mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi
hancur, namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh
alam”(QS.Al Baqarah, 2:51).[18]
Martin
L. Sinaga mengatakan bahwa pluralisme kenyataan kemajemukan agama-agama
tersebut tidak hanya dilihat sebagai kenyataan sosiologis belaka. Ada
pengalaman baru yang sungguh dirasakan setiap agama. Pengalaman tersebut
seperti suatu keadaan yang menempatkan suatu agama tadi sebagai salah satu
“penari” dalam relasi dengan agama lain dan membentuk “tarian” bersama. Kalau
agama tersebut mau tetap survive dalam konteks baru ini, ia harus mampu memberi
respons keterbukaannya terhadap keadaan pluralism tersebut, seperti seorang
penari yang tidak boleh menari sendiri lagi, tetapi harus mau bergerak seturut
dengan irama bersama dan mampu memberi jawaban terhadap gerak (bahan
kreatifitas) teman menarinya, agar tidak tersandung jatuh atau pun menginjak
kaki penari lain, lalu terpaksa dikeluarkan dari arena tarian karena mendesakan
gaya tertentu dan terkesan sewenang-wenang justru sebaliknya yang perlu
ditampilkannya, bagaimana dalam tarian bersama itu ia tidak asal menari atau
hanya mengulang-ngulangi gerak yang sama, tetapi diminta menggerakan daya-daya
pribadinya semaksimal mungkin agar ia tidak saja akan dihargai karena jenial,
tetapi juga karena membantu menyamarkan tarian bersama tersebut. Metofor
“penari” dan “tarian” ini dapat membantu kita memahami keadaan baru tempat
agama-agama hidup pada masa kini. Setiap agama tidak lagi hidup selaku anak
tunggal dan anak sulung, ia kini harus berbagi dengan agama lain; karenanya,
kesaksiannya justru akan semakin dihargai dan didengar kalau ia mampu
menampakan kapasitas dalam merumuskan diri secara baru dan otentik. Rumusan ini
juga perlu menambah kualifikasi lain, tetapi justru mengajak yang lain lebih
semarak dalam hidupnya karena ia pun aktif menyuburkan saudara seperjalanannya itu.
Gaya baru beragama ini terasa mendesak untuk dijadikan pola bersama-sama karena
agama yang mau hidup bersama secara sehat lagi bebas itu harus menolak
cara-cara potologis yang tampak dalam sebagian kelompok agama saat ini, yang
menutup diri alam ghetto fundamentalistik
sambil mengklaim dirinya selaku pemilik kebenaran absolut dan mengkarikan atau
mensesatkan yang lain.[19]
Stanley
Samartha mengakui fakta pluralism agama berarti bahwa orang tidak dapat mencari
perlindungan dalam sikap netral dan objektif. Tidak ada helicopter teologis
yang dapat membantu kita untuk terbang melayang-layang diatas agama-agama lain
dan memandang ke bawah dengan penuh keangkuhan oleh karena itu,pendrian kita
harus menjadi Kristen, walaupun begitu tenaga-tenaga kita juga bebas untuk
menyatakan pendirian mereka yang partikular.[20]
Wilfred
Cantwell Smith mengakui, bahwa pengalaman dunia menyangkut agama sedang
memasuki tahap baru yakni pluralisme agama. Syarat utama tahapan baru ini ialah
kita semua diminta untuk memahami
tradisi-tradisi keagamaan lain di samping tradisi keagaman kita sendiri
membangun teologi di dalam benteng sutu agama sudah tidak memadai lagi seperti
pada masa lampau para teolog Kristen merasa perlu untuk membangun teologi dalam
terag filsafat Yunani atau perkembangan ilmiah, demikan pun tantangan yang
dialami teolog Kristen dewasa ini ialah,apabila mereka mengembangkan teologinya,
menyadari kedudukannnya sebagai anggota masyarakat dunia bersama-sama dengan
teolog lainnya sama cerdas, sama-sama saleh, sama-sama bermoral yang beragama
Hindu, Budha atau Islam.[21]
Pengertian
Pendidikan Agama Kristen
Menurut
S. C. Utami Munandar pendidikan agama adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa
dalam menyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama. Pendidikan agama
berfungsi untuk menumbuhkan sikap dan perilaku manusia berdasarkan iman
keagamaan melalui kehidupan sehari-hari, dengan menghormati dan menghargai
agama lain dalam hubungan kerukunan antara umat beragama di masyarakat untuk
mewujudkan persatuan nasional dan berlandaskan pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.[22]
Hal
ini menunjukan bahwa pendidikan agama yang diajarkan bukan hanya menjadi
kekayaan iman dan intelektual bagi pemeluk agama masing-masing namun juga dapat
memberikan nilai positif kepada hubungan yang rukun dengan tetap menghargai
agama lain dapat tercipta keamanan dan ketertiban nasional.
W.P
Napitupulu menambahkan kata “Kristen” pada batasan tersebut, apakah ada masalah
yang timbul? Sebenarnya tidak ada masalah pada tingkat abstrak dan tingkat
gagasan-gagasan umum. Masalah mungkin baru timbul sewakt kita menjawab
“Bagaimana kita para pengikut Kristus mengisinya”? Bagaimana agama Kristiani
menerobos ke dalam setiap kegiatan? Tentu kita harus berpegang teguh pada
Alkitab, pada ajaran-ajaran Kristus, pada prinsip-prinsip hidup Kristen yang
kita yakini dan dijadikan pedoman untuk berbuat,pedoman tingkah laku kita.
Mengenai hal ini pun tidak ada masalah jika kita hidup dan bergerak dalam
masyarakat homogen, artinya secara praktis “mayoritas” penduduk beragama Kristen.
Masalah barulah perlu didentifikasi dan secara rinci tersurat “jika Pendidikan
Kristen” itu dilaksanakan didalam masyarakat heterogen, masyarakat majemuk
seperti Indonesia. Kata kunci dalam masyarakat majemuk adalah “toleransi”.
Mengenai pengertian Har Tilaar,mengatakan dengan dua buah pengertian lain,yakni
“Pengabdian” dan “Pelayanan”. Har Tilaar selanjutnya berkata “toleransi” bukan
dalam artian melepaskan keyakinan kita sebagai seorang Kristen tetapi sikap
atau gerak-gerik kita, baik sebagai perorangan maupun anggota masyarakat agar
tidak secara ekslusif dan demontratif menunjukan nilai-nilai kita.[23]
Selanjutnya
calvin mendefenisikan Pendidikan Agama Kristen pemupukan akal orang-orang
percaya dan anak-anak mereka dengan firman Allah yang dilaksanakan
gereja,sehingga dalam pengalaman belajar yang dilaksanakan gereja, dihasilkan
pertumbuhan rohani yang berkesinambungan yang dijewantahkan semakin mendalam
melalui pengabdian kepada Allah Bapa Tuhan Yesus Kristus berupa tindakan kasih
terhadap sesama.[24]
Jedida
T. Posumah-Santosa mengatakan Pendidikan Agama Kristen bukan hanya mengarah
pada penguasaan-penguasaan pengetahuan dan ketrampilan, tetapi kepada perilaku
dan kepribdian yang matang. Sasaran akhirnya adalah seorang pribadi yang
memiliki integritas diri, mampu menggunakan imannya dalam menjawab tantangan
hidup dan mampu memanusiakan sesama dengan berbagai kehidupan yang sejahtera
yang dikaruniakan Allah kepada manusia. Dengan kata lain, pendidikan
dimaksudkan untuk memampukan manusia mengambil bagian secara aktif, kreatif dan
kritis dalam pembangunan masa depan bersama yang lebih baik dari pada masa lalu
dan kini.[25]
Andar
Ismail mengatakan bahwa dimensi kekristenan sangat penting sebagai kaidah,
norma, referensi, modal dan tolak ukur dari seluruh performance pendidikan
Kristen kita. Dimensi kekristenan ini harus dijaga agar tidak terjebak dan
berhenti pada kekristenan yang bersifat verbal, label, ornament (salib, nama
jalan, stiker), hanya pada faktor-faktor luar saja, yang bisa dilihat dengan
mata dan diraba dengan indra kita, tetapi suatu kekristenan yang aktual,
konkrit, mewujudkan, operasional.[26]
Dari
pendapat diatas disimpulakan bahwa Pendidikan Agama Kristen adalah usaha sadar
yang dilakukan baik oleh gereja, sekolah maupun keluarga untuk menyiapkan peserta
didik yang tidak hanya menghayati, mengamalkan firman Allah yang diajarkan
namun peserta didik juga mampu untuk mewujudkan imannya dalam suatu kekristenan
yang aktual dan konkrit dimana peserta didik mampu menggunakan imannya dalam
menghadapi kenyataan dunia yang plural dengan tidak tertutup dengan berbagai
kemajemukan yang ia temui namun mampu bersikap dalam menerima dan hidup bersama
kehidupan yang plural dengan tidak kehilangan identitas sebagai seorang
kristiani yang mampu mengambil bagian yang aktif, kreatif dan kristis serta
menjadi pembawa damai sejahtera dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat.
Persepsi
Siswa tentang Pluralisme
Dunia
pendidikan terus mengalami perubahan dan perkembangan. Kurikulum sering
dibongkar pasang agar ditemukan formula yang tepat untuk menjawab kebutuhan
sumber daya manusia yang memiliki kompetensi masa depan yang unggul yang mampu
bersaing di era globalisasi. Pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher center) diganti dengan
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (students center), muatan materi yang lebih menitikberatkan pada
aspek kognitif sudah ditinggalkan karena dengan kurikulum 2013 muatan kurikulum
setiap mata pelajaran memiliki tiga muatan utama yaitu Afektif atau sikap
(spiritual dan social), kognitif atau pengetahuan dan psikomotor atau
ketrampilan yang terintegrasi diharapkan dengan ketiga muatan ini diharapkan
menghasilkan manusia Indonesia yang Produktif, kreatif, inovatif, dan afektif dan memiliki kepercayaan diri yang
tinggi sebagai individu dan bangsa, serta toleran terhadap segala perbedaan
yang ada.[27]
PAK di SMA/SMK secara keseluruhan ingin memotivasi
serta mencerahkan visi dan iman peserta didik untuk bertumbuh menjadi remaja
yang memiliki karakter kristiani. Dalam pertumbuhan itu, mereka mampu
menjalankan perannya di tengah keluarga, sekolah, gereja dan masyarakat. Hal
ini penting karena iman Kristen adalah iman yang hidup yang menggerakkan orang
beriman untuk mampu mengaktualisasi diri secara sehat sebagai pribadi, sebagai
bagian dari keluarga, gereja dan masyarakat bangsa Indonesia yang majemuk.
Dalam kurikulum 2013 metode dan kurikulumnya PAK yang dikembangkan adalah PAK
yang dialogis dengan kemajemukan namun juga dapat menginspirasi dan mendorong setiap
peserta didik untuk terlibat dalam upaya-upaya transformasi masyarakat. Isu-isu
keadilan dan hak asasi manusia serta ekologis, seperti kemiskinan,
diskriminasi, kekerasan dan dan kerusakan lingkungan hidup diupayakan untuk
menjadi perhatian PAK, baik di gereja maupun di sekolah-sekolah. Di tingkat SMK
kelas XII peserta didik akan dihadapkan pada materi kehidupan multikultur. Penulis
menyajikan materi kehidupan multikultur dengan pengertian paham pluralisme
dengan menggunakan metode diskusi. Dalam penelitian ini penulis melakukan
wawancara terhadap 10 orang peserta didik di SMK N 1 Maluku Tenggara tentang
pengertian pluralisme. Persepsi peserta didik tentang pluralisme yaitu ada
peserta didik yang tidak mengetahui arti pluralisme.
Saya tidak terlalu
memperhatikan dan kurang mengerti. [28]Saya
tidak setuju karena bagi saya Yesus yang menyelamatkan, jadi seng (tidak) ada jalan
lain dalam Yesus. [29]Tidak
mengerti beta (saya) seng (tidak) perhatikan dengan baik. Tidak tau (tahu), [30]jadi
beta (saya) seng (tidak) mengerti.[31]
Dari
jawaban diatas dapat dilihat bahwa ada factor-faktor yang mengakibatkan peserta
didik benar-benar tidak tahu bahkan tidak mengerti tentang pluralisme, antara
lain:
1. peserta
didik tidak memfokuskan indranya (perhatian) pada pelajaran yang disampaikan
oleh guru sehingga informasi (stimulasi) yang seharusnya diserap oleh peserta
didik tidak masuk pada otak peserta didik sehingga peserta didik tidak dapat
memberikan pengertian pluralisme.
2. peserta
didik memiliki pandangan agama yang ekslusif
3. Karena
metode mengajar yang digunakan oleh guru, yaitu metode diskusi yang memiliki
kelemahan diantarannya yaitu:
1) Peserta
diskusi mendapatkan informasi yang terbatas
2) Hanya
dikuasai oleh peserta didik yang suka bicara
3) Metode
ini majemuk kalau pemimpin tidak cakap dan pembicaraan menjadi tidak terarah
dan bertele-tele.
Berdasarkan
hasil wawancara mengenai pandangan peserta didik SMK N 1 Kabupaten Maluku
Tenggara tentang makna Pluralisme, antara lain:
Paham
yang mengajarkan tentang menghormati perbedaan yang ada dan Bertoleransi dengan
umat beragama lain tanpa membedakan agama. [32]Kemajemukan,
kemajemukan dipadu sebagai sesuatu kekayaan. Perbedaan agama merupakan jalan
untuk mengahayati dan untuk lebih memahami dan menghargai agama lain. [33]Sesuatu
yang berbicara tentang perbedaan agama dan mengajak kita untuk saling
berdampingan. Kemajemukan agama, ada berbagai agama. [34]Cara
hidup dalam lingkungan yang berbeda agama, saling menghargai.[35]
Dari
pandangan peserta didik tentang pluralisme ini, maka dapat dilihat bahwa, peserta
didik mengetahui bahwa pluralisme adalah suatu keadaan yang majemuk/berbeda. peserta
didik tidak melihat perbedaan dalam ajaran keselamatan/dogma yang terkandung
dalam agama-agama tersebut, namun peserta didik melihat kemajemukan dalam
artian yang luas yaitu kemajemukan itu sendiri merupakan wadah/tempat yang
menumbuhkan rasa menghormati, menghargai dan bertoleransi terhadap sesama
manusia.
Dari
jawaban peserta didik maka dapat dilihat bahwa peserta didik menekankan aspek
toleransi didalam pluralism. Hal ini ditentukan kembali oleh Masykuni Abdulah
bahwa pluralistic tidak dapat dilepas pisahkan dari toleransi sebab, toleransi
tanpa sikap pluralistic tidak akan menjamin tercapainya kerukunan antar umat
beragama begitu pula sebaliknya. Pluralisme adalah keberadaan atau toleransi
keragaman etnik atau kelompok-kelompok klutural dalam suatu masyarakat atau
Negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan kelembagaan
dan sebagainya. Defenisi seperti inilah yang menurut Masyukuni Abdullah
mengandung pengertian social atau primodial untuk merealisasikan dan mendukung
konsep tersebut diperlukan adanya toleransi.[36]
Adapun
toleransi itu sendiri berarti kemampuan untuk menghomati sifat dasar, keyakinan
dan perilaku yang dimiliki orang lain. Dalam literatur agama (islam) toleransi
disebut sebagai sifat tasamuh artinya adalah sifat atau sikap
menghargai,membiarkan,atau membolehkan pendirian (pandangan) orang lain yang
bertantangan dengan pandangan kita.[37]
Sebagai
prinsip metodologis, toleransi adalah penerimaan terhadap yang tampak sampai
kepalsuan tersingkap. Toleransi relevan dengan epistimologi, ia juga relevan
dengan etika sebgai prinsip menerima apa yang dikehendaki sampai ketaklayaknya
tersingkap dan toleransi adalah keyakinan bahwa keanekaragaman agama terjadi
karena sejarah dan semua factor yang mempengharuhnya, kondisi ruang dan
waktunya berbeda, prasangka, keinginan dan kepentingannya. Dibalik
keanekaragaman agama berdiri ad-Din al-Hanif, agama fitrah Allah, yang mana
manusia lahir bersamanya sebelum akultrasi membuat manusia menganut agama ini
atau itu.[38]
Berbicara
tentang toleransi Kristiani, maka tidak dapat disangkal bahwa kitapun berbicara
tentang toleransi agama tersebut, maka akan terungkap pula pokok-pokok
pandangan tentang kerja sama antar umat beragama di Indonesia. Dengan berbicara
toleransi, maka kita menunjukan adanya suatu kerelaan untuk menerima kenyataan
adanya orang lain disekitar dan disamping kita.
Karena hidup itu selalu nyata dalam interaksi antar berbagai golongan,
maka sikap toleransi seperti itu pun mau tidak mau haruslah sama dengan mengambil
bentuk yang beraneka ragam. Toleransi berarti endurance atau ketabahan yang bukan hanya menunjukan pada sikap
membiarkan orang lain hidup disekitar kita tanpa larangan dan penganiayaan.
Toleransi dalam artian seperti ini khusunya dibidang agama menunjuk pada
kerelaan kesediaan untuk memasuki dan memberlakukan agama lain dengan penuh
hormat dalam suatu dialog dengan orang lain secara terus-menerus tanpa perlu
dipengharui oleh pendapat lain dalam dialog tersebut. Dialog yang sebenarnya
adalah kesediaan untuk mendengar dari kedua belah pihak tanpa jatuh kedalam
bahasa sinkritisme,skeptisme,dan relativisme.[39]
Jhon
Ruhulesin mengatakan bahwa ada titik tolak yang diambil untuk membangun
hubungan antar agama dalam masyarakat majemuk atau masyarakat pural yaitu cara
pandang yang hormat, santun, toleran, kritis dan manusiawi terhadap perbedaan
agama amat diperlukan sekarang ini, terutama ketika dalam masyarakat muncul
kecenderungan memandang pluralisme atau perbedaan itu dengan sikap
apriori,kecurigaan malah sangat taktis dan politis.[40]
(mohon maaf
panitia..saya masih melanjutkan pembahasan namun karena waktu sudah mau ditutup
saya kirimkan dulu…nanti akan saya tambahkan bila diperkenankan karena
pembahasan karena memang blm selesai, implikasi PAK serta kesimpulan dan saran
dan daftar pustaka)
[1] Aholiab watloly, Menumbuhkan Kesadaran Dan Nilai-Nilai
Pluralisme Dalam Memantapkan Kerjasama
Antara Agama-Agama Orang Basudara Di Maluku, Disampaikan Dalam
Seminar “Meretas Keadilan Bersama”, Diselenggarakan oleh LAKPESDAM NU Maluku dan USC Satu Nama
Jogjakarta, Ambon 2007, hal 1.
[2]
D’Adamo Arthur, Science Without A
Synthesis Of Science, Religion and Mystcs, dalam Abidin Wakano, “ Memahami
Konsep Inklusivisme dan pluralism, Cak Nur, Diskusi Publik. “Islam dan
kemajemukan di Indonesia, diselenggarakan oleh Lembaga Study Agama dan
Filsafat, Universitas Paramadina dan Universitas Pattimura, Ambon 2007, hal 8
[3] Ibid, hal 14
[4]
Ibid, hal 11-12
[5]
Joas Prasetya, “Mencari Dasar Bersama”
(Etik Global Dalam Kajian Postmodernisme dan Pluralisme Agama), Jakarta,
BPK Gunung Mulia, 2002, hal 64
[6]
Abidin Wakano Op.Cit, hal 14
[7]
Mifta Thoha, Perilaku Organisasi Konsep
Dasar dan aplikasi, Jakarta, Rajawali, 1989, hal 12
[8] http://www defenisi pengertian.com diakses oleh Sarah
Laisila
[9] Pengertian persepsi berbeda dengan Perspektif.
Perspektif mempunyai dua pengertian yaitu; cara melukiskan suatu benda dan
lain-lain pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata
dengan tiga dimensi (Panjang, lebar dan tingginya) : sudut pandang; pandangan
(lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-2, Jakarta Balai Pustaka, 1996,
hal 246)
[10] http://www persepsi.com
[11]
Miftha Thoha, Op. Cit, hal 103-105
[12] https://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme diakses oleh
Sarah Laisila
[13]
Th Sumartana. Theologia Relegionum dalam Tim Balitbang PGI, Teologi Agama-Agama di Indonesia(Theologia
Religinioum), Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2000, hal 18
[14]
Aholiab Watloly, Op.Cit, hal 3
[15]
John Hick, Mitos Keunikan Agama Kristen
(The Myth Of Christian Uniqurness), dalam Joas Adiprasteya, Op.Cit, hal 75-76
[16]
Harold Coward, Pluralisme, Tantangan Bagi Agama-Agama, Jogjakarta,
Kanisius, 1994, hal 58-59
[17]
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan
Peradaban (Sebuah Telaah Kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan
kemoderenan), dalam Abidin Wakano, Op. Cit, hal 6
[18]
Nurcholish Madjid, “Masyarakat Madani dan
Investasi Demokrasi, “Tantangan dan Kemungkinan”, dalam Abidin Wakano, Op. Cit, hal 9
[19]
Martin L Sinaga, Teologi Agama-agama dalam
Tim Balitbang PGI, Op. Cit, hal 1-2
[20]
Stenley J. Samantha, Courage For Dialogue
dalam Harold Coward, Op. Cit, hal 76-77
[21]
Wilferd Cantwell Smith, The Faith Of Other Men dalam Harold Coward, Op. Cit,
hal 61
[22]
S.C. Utami Munanadar, Beberapa Pokok
Pikiran Tentang Penyelenggaraan PAK Melalui Jalur Sekolah dalam Weinata Sairin
(Penyunting), Identitas Dan Ciri Khas Pendidikan Kristen Di Indonesia antara
Konseptual dan Operasional, Jakarta, BPK Gunung mulia, 2003, hal 153
[23]
W.P. Napitupulu, Memantapkan Pelaksanaan
Identitas dan Ciri Khas Pendidikan Kristen secara Kontinyu dan Konsisten
dalam Wenata Sairin, Op. Cit Hal 26
[24]
Roberth R. Boehlke, Sejarah Perkembangan
Pemikiran dan Praktek PAK dari Plato-Loyola, Jakarta, BPK Gunung Mulia,
2002, hal 413
[25]
Jedida.T. Posumah-Santosa, Pendidikan
Agama Kristen di Sekolah:Suatu Bidang Studi atau Asuhan Iman Kristen? Dalam
andar Ismail, Op.Cit, hal 114
[26]
Andar Ismail, Misi dan Visi Sekolah
Kristen di Dalam Masyarakat Majemuk Indonesia yang sedang berkembang dalam
Weinata Sairin, Op. Cit, hal 156
[27] https://www.kemdikbud.go.id/kemdikbud/dokumen/Paparan/Paparan%20Wamendik.pdf,
diakses oleh Sarah Laisila
[28]
Hasil wawancara dengan Yohana Kombade, tanggal 05 Oktober 2020, di SMK N 1
Kabupaten Maluku Tenggara, jam 10.00 WIT
[29]
Hasil wawancara dengan Yohana Nelson Raubun, tanggal 05 Oktober 2020, di SMK N
1 Kabupaten Maluku Tenggara, jam 10.00 WIT
[30] Hasil
wawancara dengan Nikson Hairtua , tanggal 05 Oktober 2020, di SMK N 1 Kabupaten
Maluku Tenggara, jam 10.00 WIT
[31]
Hasil wawancara dengan Hendrik Letlet, tanggal 05 Oktober 2020, di SMK N 1
Kabupaten Maluku Tenggara, jam 10.00 WIT
[32] Hasil
wawancara dengan Richardo Raubun, tanggal 05 Oktober 2020, di SMK N 1 Kabupaten
Maluku Tenggara, jam 12.00 WIT
[33]
Hasil wawancara dengan Yohanis Hurlean, tanggal 05 Oktober 2020, di SMK N 1
Kabupaten Maluku Tenggara, jam 12.00 WIT
[34]
Hasil wawancara dengan Yandri Rahantoknam, tanggal 05 Oktober 2020, di SMK N 1
Kabupaten Maluku Tenggara, jam 11.00 WIT
[35]
Hasil wawancara dengan Hendrik Letlet, tanggal 05 Oktober 2020, di SMK N 1
Kabupaten Maluku Tenggara, jam 10.30 WIT
[36]
Masyakuni Abdullah, stusdi Agama, Normavitas atau Historisitas dala Syamsul
Ma’arif, Op.Cit, hal 13
[37]
The Heritage Ilustrated Distionary Of TheEnglish Language
[38]
Iskandar Syahrullah, diskurs Toleransi
Beragama, dalam Syamsul Ma’arif, Op.Cit,
hal 14
[39]
Victor I. Tanja, Pluralisme Agama dan
Problema Sosial (Diskurs Teologi tentang isu-isu Kontemporery), Cidesina,
1998, hal 13-14
[40]
Jhon ruhulesi, Pluralisme berwajah humanis (Sketsa pemikiran DR. Jhon
Ruhulesin), Lesmmu, Ambon, 2007